Peci Kapolri - Arenafakta

Peci Kapolri

Peci Kapolri

tribun-nasional.com – pekan lalu, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menghabiskan waktu dengan mengunjungi beberapa pesantren di Rembang, Jawa Tengah.

Kapolri bertemu dengan sejumlah ulama dan pimpinan pesantren, antara lain K.H. Muhammad Najih Maimun, K.H. Abdul Ghofur Maimun, K.H. Bahauddin Nursalim, dan K.H. Zaim Ahmad.

Sebelum ke Rembang, Kapolri menyempatkan diri mampir di Pekalongan untuk bertemu ulama karismatik, Habib Luthfi bin Yahya, di kediamannya.

Kunjungan kapolri ke pesantren ini memang bukan yang pertama. Sebelumnya Kapolri juga pernah melakukan road show ke berbagai pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Termasuk mengunjungi dua pesantren tua terkemuka, Pesantren Ploso dan Pesantren Lirboyo di Kediri.

Namun road show kali ini memiliki makna strategis yang sangat penting bagi institusi kepolisian.

Beberapa bulan terakhir, Polri menghadapi ujian yang tidak ringan. Kasus Ferdy Sambo , insiden Kanjuruhan, dan kasus Narkoba yang melibatkan Teddy Minahasa merupakan kasus-kasus yang banyak menggerus kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkap bahwa tingkat kepercayaan publik kepada Polri turun dari 70 persen pada bulan Agustus 2022, menjadi 53 persen pada bulan Oktober 2022.

Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia juga menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri berada di urutan paling buncit (54,2 persen), di bawah KPK (58,8 persen) dan Kejaksaan Agung (63,4 persen).

Di tengah menurunnya tingkat kepercayaan publik tersebut, road show Kapolri kali ini sangat strategis.

Pertama, apa yang dilakukan Kapolri merupakan upaya “institutional healing” untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada Polri.

Ibarat seseorang yang sedang mengalami pukulan berat, healing diperlukan untuk memulihkan kesehatan serta kekuatan jiwa dan raga.

Bukan tanpa alasan jika Kapolri memilih para ulama dan pesantren sebagai tujuan silaturahmi. Hingga saat ini, para ulama masih menjadi kiblat masyarakat.

Memulihkan kepercayaan masyarakat dengan mengunjungi pemuka umat merupakan langkah yang sangat strategis.

Sebagai pucuk pimpinan Polri, silaturahmi Kapolri mengandung pesan penting bahwa Polri membutuhkan masyarakat.

Polri tidak bisa bekerja sendiri. Polri memerlukan saran, nasihat, dan dukungan luas dari masyarakat.

Kedua, kedatangan Kapolri ke pesantren dengan mengenakan peci mengandung makna tersendiri.

Mengenakan peci ketika menemui ulama bukan saja soal etika kunjungan. Sebagai seorang Nasrani, “peci kapolri” seakan mengirim pesan keterbukaan. Kapolri ingin menghilangkan sekat-sekat primordial dan prasangka yang tak berdasar.

Posisinya sebagai non-Muslim tidak memengaruhi profesionalisme Kapolri dalam menjalankan tugas negara.

Di Indonesia, peci memang menjadi simbol keagamaan Islam. Orang biasa mengenakannya ketika beribadah dan melakukan aktivitas keagamaan.

Namun peci juga telah menjadi simbol nasional dan kebangsaan. Di dalam berbagai kegiatan resmi kenegaraan, peci digunakan tidak hanya oleh Muslim, tetapi juga oleh non-Muslim.

Dalam konteks ini, peci telah menjadi simbol nasionalisme. Simbol kebersamaan bagi setiap anak bangsa yang mencintai negerinya.

Di luar makna positif silaturahmi ini, Kapolri tetap harus melangkah beyond simbol. Langkah-langkah yang lebih kongkret perlu dilakukan untuk membenahi instusi Kepolisian.

Apa yang menimpa Polri beberapa bulan terakhir, mencerminkan belum tuntasnya reformasi birokrasi di tubuh Kepolisian.

Kapolri dituntut untuk mengembalikan marwah dan martabat Kepolisian, sebagai ujung tombak tegaknya negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.

Hal ini sangat penting agar jargon Polri Presisi tidak berjalan jauh panggang dari api. Mari kita dukung bersama!