Xi Jinping, Resesi, dan Demokrasi

Xi Jinping, Resesi, dan Demokrasi

tribun-nasional.com – trauma atas kekuasaan mutlak di satu tangan (tangan Mao Zedong) di satu sisi dan niat untuk meminggirkan penerus Mao Zedong, yaitu Hua Guofeng di sisi lain, akhirnya Deng Xiaoping menghilangkan kursi ketua (chairman) di dalam Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Meski demikian, ketidakstabilan politik tidak berakhir begitu saja setelah Deng Xiaoping menjadi paramount leader.

Karena tensi politik akibat perebutan pengaruh antara kelompok reformis dan kelompok konservatif, berpadu dengan meningkatnya inflasi, dua sekretaris jenderal partai yang dipilih Deng Xiaoping untuk memimpin PKT pada 1980-an, Hu Yaobang dan Zhao Ziyang terguling di tengah jalan lantaran dianggap terlalu liberal.

Hal positifnya setelah itu, masa jabatan sekretaris jenderal partai dan presiden mulai ditata secara teratur.

Deng Xiaoping hanya menjabat sebagai ketua komisi paling berpengaruh di dalam partai, yakni komisi militer (Central Millitary Comission/ CMC) selama dua periode lebih sedikit, sekitar 10 tahunan, lalu diserahkan kepada Jiang Zemin pada 1992.

Tradisi tersebut berlanjut ke masa Jiang Zemin dan Hu Jintao, yang sama-sama mematuhinya dengan menjabat selama lebih kurang 10 tahun (sampai 2012).

Jiang Zemin menyerahkan kekuasaan kepada Hu Jintao tahun 2002 dan Hu Jintao digantikan oleh Xi Jinping tahun 2012.

Namun tahun 2018 (enam tahun setelah Xi Jinping menjadi sekretaris jenderal PKT, lima tahun setelah menjadi presiden), Xi Jinping berhasil memobilisasi dan mengonsolidasikan kekuatan di dalam partai untuk mengesampingkan aturan tersebut, baik tentang masa jabatan sekretaris jenderal partai dan presiden maupun tentang kekusaan kolektif kolegial di dalam partai.

Dengan begitu, Xi Jinping berpeluang menjabat selama lebih dari 10 tahun, bahkan seumur hidup, dan berpeluang memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri.

Jadi bukan hal baru lagi bagi kita jika ternyata Xi Jinping akhirnya benar-benar mematahkan aturan lama di dalam Partai Komunis Tiongkok dengan memenangkan suara menjadi sekretaris jenderal PKT untuk ketiga kalinya.

Tidak salah kiranya dalam buku “ China ’s Leader. From Mao to Now (2021),” David Shambaugh menyebut Xi dengan istilah “Modern Emperor”.

Keberhasilan Xi Jinping dalam menguasai panggung utama elite politik di dalam PKT juga tak lepas dari kampanye antikorupsi besar-besaran yang dilangsungkan beberapa tahun pada masa awal Xi Jinping berkuasa.

Jadi posisi Xi Jinping saat melancarkan kampanye antikorupsi mirip dengan posisi Mao Zedong saat membasmi kelompok revisionis, reformis, borjuis, dan sejenisnya di era revolusi kultural (Great Proletariat Cultural Revolution), meski dalam baju dan gaya yang berbeda.

Walhasil, sistem politik yang kaku akhirnya diwarnai dialektika politik yang juga semakin kaku.

Tentu sangat berbeda dengan Amerika Serikat tahun 1940-an, misalnya, saat Presiden ke-32, Franklin Delano Roosevelt (FDR) mencoba membengkokkan tradisi konvensional terkait masa jabatan presiden di Amerika Serikat.

Di dalam tatanan demokrasi, checks and balances biasanya menjadi pagar kuat yang menghalangi aksi melanggengkan kekuasaan oleh seorang pemimpin terpilih.

Di saat Franklin D. Roosevelt mematahkan tradisi dua periode yang telah dicontohkan George Washington selama puluhan tahun (tanpa aturan tertulis dalam konstitusi), dengan mencalonkan diri sebagai presiden sebanyak empat kali dan berhasil, parlemen Amerika Serikat akhirnya bereaksi dengan mamasukkan masa jabatan presiden hanya sebanyak dua periode ke dalam konstitusi negara Paman Sam.

Kembali ke negara Tirai Bambu, meskipun ada dinamika demokratis di internal PKT (Intraparty democracy), namun kondisi seperti di Amerika Serikat agak susah ditemui di China pasca-Xi Jinping berkuasa dan boleh jadi pasca-ia meninggal nantinya.

Calon pengganti Xi Jinping kemungkinan akan memainkan kartu yang sama untuk tetap berkuasa selama mungkin, apalagi jika ia adalah calon yang disiapkan oleh Xi Jinping sendiri.

Sikap politik Xi Jinping banyak sedikit juga mirip dengan sikap politik Vladimir Putin, memberi pengaruh yang cukup signifikan ke luar negara mereka, seolah-olah memberi pesan kepada dunia bahwa untuk melawan stagnasi dan resesi ekonomi (ketidakpastian dunia) memang membutuhkan kepemimpinan yang benar-benar kuat secara hukum dan politik di satu sisi dan dengan masa jabatan selama mungkin di sisi lain.

Keyakinan semacam itu, banyak sedikitnya juga menjadi justifikasi beberapa pihak di Indonesia untuk menawarkan wacana perpanjangan masa jabatan atau wacana tiga periode untuk presiden Indonesia.

Jika kita kembali ke masa awal Xi Jinping terpilih, pamor Partai Komunis Tiongkok memang sedang melandai, terutama karena faktor korupsi yang sudah sangat menggurita.

Karena itu, Xi Jinping menggelorakan perang terhadap korupsi, yang notabene di sisi lain sebenarnya pembersihan terhadap tokoh-tokoh yang berpeluang menjadi penentang kekuasaan Xi Jinping kemudian hari.

Namun di sisi lain, ekonomi China juga sudah mulai mengalami kontraksi. Pertumbuhan dua digit mulai meredup. Walhasil, Xi Jinping mulai memainkan kartu nasionalisme di pentas global yang tendensinya lebih asertif dan agresif.

China lebih terbuka berseberangan dengan Amerika Serikat, tidak hanya sekadar kata-kata, tapi juga berbentuk aksi nyata dalam menyaingi institusi global liberal asuhan dunia Barat.

Xi Jinping mendorong lahirnya Bank Infrastruktur Asia sebagai tandingan dari Bank Pembangunan Asia.

China lebih terbuka menantang Amerika Serikat di Laut China Selatan, lebih berani merundung negara-negara yang termaktub ke dalam garis Nine Dash Line di Laut China Selatan.

Kemudian lebih brutal dalam membungkam gerakan prodemokrasi di Hong Kong, lebih terbuka memberikan ancaman kepada Taiwan, dan lebih agresif dalam menggunakan instrumen ekonomi untuk tujuan geopolitik.

Karena itu, Papa Xi, begitu frame Xi Jinping di ranah domestik, semakin dielu-elukan, dikultuskan dengan balutan nasionalisme tingkat dewa.

Kartu nasionalisme dan permainan peran di tingkat global memang langkah yang banyak diambil oleh berbagai pemimpin untuk memompa rating approval cq memperpanjang napas kekuasaan di satu sisi dan mengalihkan perhatian publik atas keadaan (ekonomi) domestik di sisi lain.

Bukan hanya Xi Jinping atau Vladimir Putin atau Recep Tayyip Erdogan, Donald Trump pun berusaha memainkan kartu sejenis.

Ia memompa spirit Americanism dan membuat berbagai terobosan mengagetkan di tingkat global, mulai dari memindahkan ibu kota Israel ke Jerusalem Barat (tepatnya di perbatasan barat dan timur), bertemu dengan Kim Jong Un, membela Vladimir Putin, Viktor Mihaly Orban (PM Hungaria), Joel Bolsonaro (Presiden Brazil), dan mengecilkan NATO.

Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa menguatnya suara nasionalisme dan lahirnya pemimpin-pemimpin berhaluan populis (kiri dan kanan), tidak lepas dari memburuknya kondisi ekonomi, baik di ranah domestik maupun di ranah global, sebagaimana pernah disampaikan Benjamin Friedman satu dekade lalu dalam bukunya “Moral Consequences of Economics Growth”.

Resesi dan stagnasi ekonomi cenderung membawa negara ke sisi populisme ekstrem secara ideologis, baik kiri maupun kanan.

Imbas krisis finansial 2008 yang melahirkan Donald Trump, Vladimir Putin (periode kedua), dan Xi Jinping hampir sama dengan imbas Great Depression tahun 1928 di Amerika Serikat yang melahirkan Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, atau Hideki Tojo di Jepang.

Perkara awal di Jerman, misalnya, adalah Perjanjian Versailles tahun 1919, yang menghancurkan ekonomi negara itu dan menggerogoti harga diri sebagian besar rakyat Jerman.

John Maynard Keynes mengundurkan diri sebagai utusan Inggris karena tak sepakat dengan usulan-usulan yang keluar dari elite-elite sekutu kala itu.

Kesabaran Keynes tidak terbendung yang akhirnya muntah di dalam sebuah karya emosional tapi tajam berjudul The Economics Consequences of Peace tahun 1919, yang membuat namanya semakin melambung sebagai ekonom kelas dunia, tapi dijauhi oleh elite politik Inggris karena secara terang-terangan mengutuk pemimpin Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat atas perjanjian Versailles.

Pun ketika New Deal di Amerika mulai mengendor, karena FDR memangkas anggaran pekerjaan publik dan beberapa belanja penting andalan proyek New Deal tahun 1937, Great Depression nyaris kembali lagi menerpa ke negeri Paman Sam.

Hampir setengah dari tenaga kerja yang sudah kembali bekerja karena kebijakan New Deal, kembali harus kehilangan pekerjaan.

Keynes mengirim surat kepada FDR dan memintanya kembali ke jalur New Deal dengan anggaran belanja untuk pekerjaan publik, proyek infrastruktur, peningkatan aggregate demand, pengetatan aturan perbankan, dan seterusnya, untuk dimasifkan kembali.

Lebih dari itu, Keynes juga menulis soal eksistensi demokrasi yang sangat bergantung kepada apa yang dilakukan FDR.

Pesan terakhir tersebut, menyentuh langsung hati FDR, yang membuatnya kembali yakin atas misi New Deal yang pernah ia gaungkan beberapa tahun sebelumnya, yakni keyakinan bahwa mengembalikan pengangguran ke dunia kerja bukan hanya sebagai obat untuk pemulihan ekonomi, tapi resep agar rakyat Amerika Serikat tidak tergelincir ke sayap kanan jauh (Hitler) atau ke sayap kiri ekstrem (Stalin).

Setelah itu, di dalam komunikasi langsungnya dengan rakyat Amerika Serikat via Radio, pada acara reguler khusus FDR bertajuk Fireside Chat, ia menekankan kembali kepada pendukung dan pemilihnya bahwa:

“Democracy has disappeared in several other great nations not because the people of those nations disliked democracy, but because they had grown tired of unemployment and insecurity, of seeing their children hungry while they sat helpless in the face of government confusion”.

Dalam pidato yang sama, ia menyampaikan bahwa pemerintahannya akan menambahkan alokasi dana sebesar 3 miliar dollar AS untuk program pekerjaan publik dan 300 juta dollar AS untuk otoritas perumahan rakyat.

Walhasil, angka pengangguran yang kembali tergelincir dari 9,2 persen ke 12,5 persen di tahun 1938, mulai membaik dengan torehan 11,3 persen tahun 1939, turun lagi menjadi 9,5 persen tahun 1940, lalu melesat menjadi 6 persen tahun 1941.

Saat Amerika Serikat memasuki perang dunia kedua, mobilisasi besar-besaran terjadi. Ekonomi Paman Sam masuk ke fase “full employment”.

Pendeknya, menurut hemat saya, kembali berkuasanya Xi Jinping di China di luar jalur konvensional yang sudah berlangsung selama 30 tahun lalu dan menguatnya sinyal resesi global bukan saja mendatangkan tantangan baru secara ekonomi dan geopolitik bagi dunia pun Indonesia, tapi juga tantangan baru bagi institusi demokrasi di negara-negara demokrasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

China dengan track record pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dan prestasi pengentasan kemiskinan yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented) menawarkan alternatif baru yang akan menguji supremasi demokrasi di banyak negara di dunia dalam hal kapasitasnya mengurai persoalan ekonomi yang ada.

Dan bersama Xi Jinping (sejak periode ketiganya tentu), China nampaknya sudah bukan lagi dalam kapasitas “menguji”, tapi akan menantang secara langsung validitas teori-teori ekonomi politik yang dipakai oleh negara-negara demokrasi khususnya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi dunia.